Senin, 27 Januari 2014

Membangun Propesi Guru

BAB I
PENDAHULUAN
keberagamaan sifat seseorang dalam halnya disini akan menjelaskan tentang peserta didik atau siswa dalam hal belajar, setiap siswa berbeda-beda dalam mendapatkan pembelajaran yang di berikan oleh setiap pendidik, setiap individu mempunyai sifat atau sikap, prilaku yang berbeda, tidak sama satu dengan yang lainnya.
Karena itulah Allah swt menciptakan makhlukNya agar senantiasa selalu berfikir secara positif atau baik. Namun harus tidak dapat di pungkiri keragaman atau perbedaan-perbedaan dari pola pikir setiap individu itu tergantung diri pribadi bagaimana agar bersungguh-sungguh dalam mengembangkan suatu pengetahuan yang di dapatkan,tentunya dunia pendidikan sekolah lah merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pendidikan anak. heterogenitas peserta didik menjadi suatu hal yang diperhitungkan, karena zaman yang semakin modern ini canggihnya teknologi, banyaknya lembaga pendidik yang mempunyai lebel-lebel ternama, memacu peserta didikuntuk figth dan bersaing, berkompetisi di masyarakat nantinya.
Semua itu di kembalikan kepada peserta didik, tidak hanya dengan faktor kecerdasan saja namun bagaimana seseorang dapat belajar dengan sungguh-sungguh. Maka dari itu heterogenitas pola pikir peserta didik tidak semua sama, ada yang tingkat IQ nya tinggi ada yang rendah bahkan ada yang pas-pasan tapi, semua itu perlu di sadari karena manusia tidak ada yang sempurna pasti ada kekurangan dan kelebihan, dan tergantung bagaimana kita memperbaikinya dan selalu berusaha dan berdo’a.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Heterogenitas Peserta Didik
Heterogenitas dalam kamus bahasa Indonesia dapat di artikan “keragaman”.[1]Merupakan sebuah fenomena yang wajar, manakala dalam dunia pendidikan sekolah  merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Banyaknya label sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah standar nasional, RSBI maupun SBI tidak lepas dari kenyataan bahwa heterogenitas peserta didik menjadi suatu hal yang diperhitungkan. Sebut saja sekolah SBI, yaitu sekolah yang menyiapkan peserta didiknya untuk figth dan bersaing, berkompetisi di masyarakat nantinya.
Jika ditelisik, maka akan didapat realita bahwa input dalam hal ini peserta didik yang ada di SBI didapat dari proses penjaringan yang begitu ketat. Tidak hanya faktor kecerdasan (intelegcy question) yang dipertimbangkan, namun faktor lain seperti, kemampuan serta prestasi dalam bidang tertentu menjadi masukan apakah peserta didik layak atau tidak layak masuk sekolah tersebut.
Bahwa sekolah-sekolah yang ingin memiliki visi kedepan, mampu bersaing dengan sekolah lokal, nasional bahkan internasional akan mengupayakan input yang sekolah terima telah sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Terkait dengan hal tersebut, disamping kecerdasan dan segudang prestasi yang dimiliki peserta didik, ada juga titik keterbalikan dimana terdapat pula peserta didik yang hanya memiliki IQ pas-pasan, dan bahkan lebih rendah dari angka normal. Tidak hanya itu, terdapat pula yang memiliki keterbelakangan mental, emosi, maupun psikologis, tidak jarang pula yang menderita autis. Kenyataan ini juga yang menjadikan tingkat heterogenitas peserta didik menjadi kompleks. [2]
Sekolah yang mempunyai label-label tersebut diatas tentu akan menolak kehadiran siswa dengan tingkat IQ, emosional, emosi, dan psikologis yang jauh dibawah anak-anak normal lainnya. Pertanyaannya, lalu kemanakah anak-anak ini akan ’mengadukan nasibnya’? paling tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk ’mengenyam pendidikan’ formal sesuai amanat Undang-undang No 1 pasal 30  UUD 1945, yang jelas mengharuskan semua peserta didik berhak mendapat pendidikan yang layak. Kata ’HAK’ dalam UUD tersebut dimaksudkan kepada pemerintah, yang berarti HAK yang dimiliki rakyat merupakan KEWAJIBAN bagi pemerintah untuk merealisasikannya.[3] sebagaimana yang tercantum juga dalam UUD RI No 14 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 5 yang berbunyi: “penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal”.[4]

Pendidikan kedepan harus lebih peka akan kondisi masyarakat dimana heterogenitas peserta didik menjadi suatu faktor yang patut dipertimbangkan dan disikapi secara benar dan tepat. Kini, tantangan baru didepan mata yaitu pendidikan yang dapat mengakomodir heterogenitas tersebur, dimana anak yang memiliki IQ rendah, keterbelakangan mental, psikologis bahkan autis dapat mendapatkan perlakuan yang sama, dan pendidikan yang sama pula. Tantangan ini dijawab dengan gencar’pendidikan inklusi’ yang kabarnya dapat mengatasi permasalahan tersebut diatas, walaupun pemerintah sendiri belum memiliki alat ukur/ parameternya. Namun, hal ini patut disikapi secara positif, paling tidak pemerintah sudah berupaya guna UUD dapat terealisasikan.
Pendidikan inklusi, merupakan bentuk pendidikan yang berupaya menerima heterogenitas peserta didik dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk belajar, mendapatkan ilmu secara layak sesuai dengan Kurikulum Standar Satuan Pendidikan (KTSP). Proses pembelajarannya juga tidak begitu berbeda dengan peserta didik lainnya pada umumnya, hanya penanganan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti, autis, keterbelakangan mental serta psikologis diperhatikan secara serius. Inilah tantangan baru dalam pendidikan, yang menuntut energi yang luar biasa, membutuhkan konsep yang begitu cermat dan tepat, serta personal yang berkomitmen tinggi untuk mengajarkan pendidikan kepada mereka.
B.     Mengenal Heterogenitas Tipe Belajar Anak
Anak merupakan individu yang berkarakter, memiliki ciri khas tersendiri. Setiap individu tidak bisa disamakan dengan individu lain. Sama halnya dengan siswa dalam kelas. Jumlah siswa dalam kelas di sekolah-sekolah Indonesia kebanyakan masih begitu banyak, berkisar 40 orang. Jumlah yang kurang menguntungkan untuk pembelajaran. Semakin sedikit siswa dalam kelas, pembelajaran akan lebih efektif karena guru lebih mudah mengenali karakter masing-masing siswa.
Heterogenitas siswa bukan hanya mencangkup latar belakang, sifat dan perilaku, kebiasaan, namun ada satu hal yang jarang sekali mendapat perhatian dari guru yaitu cara berlajara/tipe belajar siswa yang beragam. Hal kecil yang sebenarnya jika diperhatikan akan mengoptimalkan pembelajaran.Dalam buku “Quantun Learning” karangan Bobby De Porter” ada tiga tipe belajar anak yaitu visual, kinestetik, dan auditory yaitu :
1.      Tipe belajar visual ialah cara anak belajar dengan cara melihat. Anak dengan tipikal ini cenderung lebih mudah belajar karena hanya dengan melihat ia bisa dengan mudah menangkap pelajaran. Tapi anak visual cenderung tidak suka mendengarkan ceramah, mereka akan cepat bosan.
2.      Tipe belajar tipikal auditory ialah belajar dengan cara mendengar. Mereka senang diceramahi, mendengarkan pidato, mereka mampu bertahan lama dalam suatu rapat dan seminar, peka terhadap music dan mudah menyimpan ucapan orang lain. Maka siswa dengan tipikal ini lebih suka diterangkan langsung oleh guru atau menggunakan media audio.
3.      Tipe terakhir yaitu kinestetik. Anak kinestetik merupakan kelompok anak yang cenderung mengalami kesulitan belajar karena mereka harus mengalami sendiri suatu peristiwa agar cepat paham. Mereka sangat kesulitan jika belajar hanya dengan membaca dan mendengar. Golongan kinestetik banyak mengalami kesulitan dalam mata pelajaran geografi, memahami peta suatu wilayah karena mereka hanya bisa belajar tentang suatu wilayah dengan melihat gambar sedangkan mereka belum mengalami sendiri bagaimana kedaan alam, kondidi lingkungan suatu wilayah yang belum pernah mereka kunjungi secara langsung.

C.    Pandangan Umum Tentang Heterogenitas Siswa
Banyak tradisi pendidikan masih sulit mengatasi heterogenitas Guru, siswa, danorang tua memiliki pandangan sama mengenai pembelajaran: guru menyajikan pembelajaran dikelas, dan semua siswa menyelesaikan tugasyang sama pada saat yang sama. Banyak guruyang percaya ini adalah cara terbaik untuk meningkatkan pendidikan. Konsekuensinya,strategi untuk membedakan pembelajaranmenjadi bagian penting bagi setiap RPP guru.Hal ini bukan berarti siswa yang kemampuanmatematikanya tinggi diperlakukan lebih baik,tetapi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daritiap siswa (Stepanek, 1999: 2).[5]
Pembelajaran matematika saat ini banyak menganut paham homogenitas yaitu kemampuan matematika siswa,dengan memberikan pembelajaran yang samadalam satu kelas yang sama, tentunya ini kurangtepat melihat fitrah siswa sebagai manusia yangdilahirkan berbeda, yang high-abilitytentunya ini bukan menjadi masalah besar,mereka dapat dengan mudah menyesuaikan apayang guru berikan di dalam kelas, tetapi bagaimana dengan siswa yanglow-abilityMereka kurang mendapat dukungan darilingkungan belajar yang harusnya merekadapatkan sesuai hak, sehingga mereka semakintertinggal dari teman-teman lain di kelasnya. Iniakan berdampak buruk pada masa depan siswasendiri sebagai calon sumber daya manusia yang berpotensi. Untuk itu di perlukan suatu pembelajaran yang menghargai heterogenitasnya siswa itu, agar secara efisien dapat menyokong potensi tiap siswa yang ada dengan cara yang berbeda sesuai kemampuan mereka.
E.     Kesuksesan Belajar

Sukses adalah suatu impian atau tujuan yang kita inginkan telah tercapai dengan usaha dan kerja keras yang dijalani dalam hidupnya dalam mencapai kesuksesan dan keinginan tersebut berupa hal yang positif, baik untuk diri sendiri dan orang lain. Dan disebut sukses apabila kesuksesan itu bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita. Kesuksesan itu tidak hanya berupa materi tapi kesuksesan itu berupa non materi.

Dalam hal ini kita akan melihat keberhasilan dalam belajar dari dua faktor penting yakni faktor internal dan faktor eksternal.[6]

1)      Faktor Internal
Dalam membahas keberhasilan dari faktor internal, faktor internal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah faktor keberhasilan belajar yang datang dari diri siswa atau subjek belajar. Baik faktor pisiknya maupun faktor psikisnya. kita akan membahas terlebih dahulu faktor psikisnya. Dalam hal ini ada berbagai model klasifikasi pembagian macam-macam faktor psikologis yang diperlukan dalam kegiatan belajar. Thomas F. Staton menguraikan enam macam faktor psikologis yaitu: motivasi, konsentrasi, reaksi, Organisasi ,pamahaman dan ulangan. 
a)      Motivasi
Motivasi adalah keinginan dan dorongan untuk belajar, dalam hal ini, motivasi meliputi dua hal yakni subyek belajar mengetahui apa yang akan dipelajari danmemahami mengapa hal tersebut patut untuk dipelajari. Dengan berpijak pada dua unsur motivasi inilah sebagai dasar permulaan yang baik untuk belajar. Sebab tanpa motivasi, kegiatan belajar ataupun mengajarakan sulit untuk berhasil.
b)   Konsentrasi
Faktor konsentrasi, dimaksudkan sebagai pemusatan segenap kekuatan perhatian pada suatu situasi belajar. Unsur motivasi dalam hal ini sangat membantu tumbuhnya proses pemusatan perhatian. Di dalam konsentrasi ini keterlibatan mental secara detail sangat diperlukan,sehingga tidak perhatian sekedarnya.

c)   Reaksi
Di dalam kegiatan belajar, diperlukan keterlibatan fisik maupun mental, sebagai suatu wujud reaksi. Belajar harus aktif, tidak sekedar apa adanya, menyerah pada lingkungan, tetapi semua ini harus dipandang sebagai tantangan yang memerlukan reaksi. Dengan demikian, kecepatan jiwa seseorang dalam memberikan respons pada sutu kegiatan belajar merupakan faktor yang penting dalam belajar. Belajar aktif adalah kegiatan belajar yang dapat menyingkap kemampuan otak kanan maupun otak kiri, belajar aktif juga berarti secara aktif mencari motivasi yang diperlukan oleh subyek belajar. 

d)   Organisasi
Belajar dapat juga dikatakan sebagai kegiatan mengorganisasikan, menata atau menempatkan bagian-bagian bahan pelajaran ke dalam suatu kesatuan pengertian.hal semacam inilah yang dapat membuat seseorang belajar akan menjadi mengerti dan lebih jelas, namun juga ada kemungkinan bertambah bingung. Hal ini dapat terjadi adanya perbedaan antara cara penerimaan dan pengaturan fakta-fakta dan ide-ide dalam pikiran siswa yang belajar.
e)   Pemahaman
Pemahaman dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran. Karena itu belajar berarti harus mengerti secara mental makna dan filosofisnya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya, sehingga menyebabkan subyek belajar dapat memahami suatu situasi. Memahmi maksudnya, menangkap maknanya, adalah tujuan akhir dari setiap belajar.

f)   Ulangan
Lupa merupakan sesuatu yang tercela dalam belajar. Tetapi lupa adalah sifat umum manusia. Penyelidikan menunjukkan, bahwa sehari sesudah para siswa mempelajari sesuatu  bahan pelajaran, atau mendengar suatu ceramah, mereka banyak melupakan apa yang telah mereka peroleh selama jam pelajaran tersebut. Begitu seterusnya, semakin lama semakin banyak pula yang dilupakan, walaupun mungkin tidak lupa secara keseluruhan.

g)   Kemampuan awal
Kemampuan awal adalah pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang merupakan prasyarat yang dimiliki untuk dapat memperlajari pelajaran baru pada jenjang selanjutnya.  Kemampuan awal mempelajari suatu materi pelajaran berarti adalah kemampuan yang dimiliki siswa dari perbuatan belajar sebelumnya. Dengan demikian, kesuksesan belajar pada suatu jenjang adalah bagaimana kemampuan awal yang dimiliki siswa dari jenjang sebelumnya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada keberhasilan belajar siswa pada jenjang tertentu.

h)   Faktor fisiologis.
Dalam hal ini adalah kondisi badan fisik subyek belajar, kesehatannya, dan keadaan inderanya. Karena secara fisik, belajar membutuhkan berbagai aktivitas seperti gerakan, terobosan, permaianan dan seterusnya. Dalam hal ini, keadaan fisik sangat dibutuhkan untuk kesuksesan belajar. Walaupun dalam kondisi tertentu, keadaan fisik terkadang tidak menjadi penghalang untuk belajar, seperti orang buta, tuli atau cacat lainnya. Akan tetapi secara umum kondisi fisik memberikan dukungan besar pada keberhasilan belajar.

2) Faktor Eksternal 
Faktor eksternal dalam bahasain ini adalah faktor kesuksesan belajar yang ditunjang oleh faktor-faktor yang berada di luar pribadi subyek belajar, dalam hal ini tentunya menyangkutbeberapa hal diantaranya faktor guru, keadaan lingkungan dan media yang digunakan.Guru sebagai sosok sentral dalam kegiatan pembelajaran tentunya merupakan sosok yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa utamanya yang mengunakan jalur pendidikan formal. Eksistensi guru tentunya diakui oleh semua golongan dalam hal keberhasilan belajar anak.[7]
Media pelajaran, adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.  Bila pencapaian tujuan pembelajaran telah dapat dicapi dengan mudah, maka keberhasilan belajar siswa akan dapat ditingkatkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Heterogenitas siswa bukan hanya mencangkup latar belakang, sifat dan perilaku, kebiasaan, namun ada satu hal yang jarang sekali mendapat perhatian dari guru yaitu cara berlajar/tipe belajar siswa yang beragam.
tiga tipe belajar anak yaitu visual, kinestetik, dan auditory yaitu :
Ø  Tipe belajar visual
Ø  Tipe belajar tipikal auditory
Ø  Tipe belajar kinestetik.
Pendidikan inklusi, merupakan bentuk pendidikan yang berupaya menerima heterogenitas peserta didik dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk belajar, mendapatkan ilmu secara layak sesuai dengan Kurikulum Standar Satuan Pendidikan (KTSP).
Menggapai kesuksesan itu memerlukan kesabaran dan perjuangan, beserta do’a, menggapai sukses itu harus baik di pandang orang lain maupun Allah SWT, sehingga timbul kejujuran dalam menggapai tujuan yang diinginkan maka tidak ada kata putus asa dalam meraih kesuksesan.












DAFTAR PUSTAKA

Idrus Ali dan Fachruddin, Pengembangan Profesionalitas Guru, jakarta: Gaung Persada Press, 2011.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Nomor 1 Pasal 30 tahun 1945, tentang hak pendidikan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 5, tentang sistem pendidikan nasional,  Jakarta: PT Sinar Grafika 2009
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
http://karyakarya-aietoo.blogspot.com/2012/02/peranan-dan-fungsi-belajar.html di akses pada tgl 06 nov 2013.






























[1]  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
[3] Undang-undang Dasar Republik Indonesia Nomor 1 Pasal 30 tahun 1945, tentang hak pendidikan
[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 5, tentang sistem pendidikan nasional (Jakarta: PT Sinar Grafika)2009
[5]Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (jakarta: Gaung Persada Press, 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar