Senin, 27 Januari 2014

Qwa'id Tafsir

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an Al-Karim adalah mu’jizat islam yang kekal dan kemu’jizatannya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan.[1] Tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil.[2] Al-Qur’an memuat apa yang di butuhkan oleh manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia meraka.. untuk memahami pesan Al-Qur’an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir.Menafsirkan Al-Qur’an bukan upaya mudah. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa didalam Al-Qur’an terdapat banyak kosa kata yang tidak atau belum dipahami oleh sahabat nabi.[3]Padahal mereka adalah orang Arab asli yang langsung menerima Al-Qur’an yang berbahasa Arab dari Nabi Muhammad saw, dan menyaksikan situasi serta kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. [4] Dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur’an. Ia tidak memiliki  kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in serta para ulama yang mumpuni. Dengan kata lain, merekalah rujukan utama kita. Karena itulah, Rasulullah mengancam dengan siksa neraka bagi siapa saja yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa penguasaan ilmunya.[5]Agar fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Qur’an.Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Qur’an.Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an mestilah terlebih dahulu menguasai’ulum al-qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an).Salah satu ilmu yang harus dikuasai diantaranya adalah kaidah-kaidah tafsir.Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah dan Tafsir 
Qowa’id al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qowa’id dan kata tafsir.Qowa’id, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia.Kata qo’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip.[6] 
Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan danmengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, tafsir ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.[7] Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwatafsir adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi.[8] Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”.[9] Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”.[10]
Jadi bila dirangkai dalam satu definisi kedua kata diatas, maka kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an.


B. Urgensi Kaidah Tafsir 
Untuk menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir  dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.                                                          
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[11] Harus digaris bawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya, tetapi juga “karena nabi saw. sendiri tidak semua menafsirkan ayat al-qur’an”.[12] Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.




C. Korelasi Penafsiran Al Qur`an dengan Kaidah Kebahasaan
 إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
  Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.(QS. Yusuf ayat 2)
 Keberadaan Al-Qur`an yang diturunkan dengan bahasa Arab secara otomatis menjadikan bahasa Arab sebagai ilmu bantu utama dalam rangka memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap ayat-ayat dan kandungan Al-Qur`an. Kaidah-kaidah dasar ini telah banyak mencuri perhatian para ulama` klasik maupun kontemporer. Tak heran bila hingga hari ini, karya yang membedah aspek kebahasaan Al-Qur`an secara khusus maupun bahasa Arab secara umum cukup mendominasi referensi primer cendekiawan muslim.
Pemahaman komprehensif terhadap kaidah kebahasaan ini menjadi hal yang penting untuk difahami. Selain demi alasan komprehensifitas pengetahuan, ilmu tata bahasa sejauh ini seringkali memiliki beberapa kaidah mengenai adanya hal-hal yang jarang atau tidak sama dengan yang lain, atau disebut dengan kaidah pengecualian. Dalam hal ini, kaidah kebahasaan memiliki peranan yang lebih penting karena ia dapat menghindarkan pemerhati atau mufassir al-Qur`an dari kesalahan dalam memahami Al-Qur`an.
Selain itu, pengetahuan tentang kaidah kebahasaan Al-Qur`an merupakan sebuah gerbang awal untuk memahami beberapa disiplin ilmu lain yang masih terkait, semisal ma`anil qur`an.
Beberapa alasan tersebut agaknya cukup bisa memposisikan kaidah kebahasaan sebagai ilmu yang wajib dimiliki oleh pemerhati masalah al-Qur`an. Berikut beberapa kaidah dasar kebahasaan al-Qur`an;
1)      Dhamair (Dhamir)
Dhamir adalah kata ganti.Isim ini pada dasarnya berfungsi untuk menyingkat lafadz tanpa mengesampingkan aspek makna. Artinya, walaupun lafadznya disingkat, akan tetapi kandungan makna di dalam lafadz tersebut tetap terwakili. Dhamir terbilang suatu bagian dalam struktur Bahasa Arab yang sangat rentan disalahpahami.Tidak salah kiranya jika salah seorang ulama` berkata bahwa seandainya struktur Bahasa Arab tidak menggunakan dhamir, niscaya semua orang akan dengan mudah memahami bahasa Arab.
Rentannya kesalahpahaman dalam memahami dhamir ini pada umumnya terjadi pada dhamir ghaib.Terlebih dahulu patut diketahui bahwa secara umum, dhamir terbagi menjadi tiga, yakni dhamir mutakallim, dhamir mukhatab, sertadhamir ghaib.Dari ketiga dhamir tersebut, dhamir ghaib lah yang yang marajidhamirnya (tempat kembali dhamir, referens) tidak dapat diketahui tanpa adanya pemikiran dan penyelaman terhadap lafadz yang bersangkutan.
Kendati demikian, para ulama` menetapkan suatu kaidah bahwa maraji` dhamir pada umumnya adalah lafadz terdekat dengan dhamir yang bersangkutan.
2)      Ta`rif dan Tankir (Ma`rifat dan Nakirah)
Ma`rifat dan Nakirah adalah jenis kalimat yang masuk dalam katagori isim.Secara umum, ma`rifat didefinisikan sebagai isim yang khusus (diketahui), sedangkan isim nakirah adalah isim yang masih belum jelas referennya, artinya masih umum.Selain memerhatikan aspek makna, tanda-tanda isim nakirah dan ma`rifat bisa diketahui dari aspek lafadznya. Akan tetapi, masih ada beberapa makna lain yang terkandung dalam suatu isim nakirah ataupun ma`rifat.
Adapun ciri-ciri isim ma`rifat adalah salah satu dari keenam tanda berikut; yakni isim dhamir, isim isyarah (petunjuk), isim maushul (konjungsi), isim alam (nama), isim yang mengandung lafadz ( ال), serta isim yang disandarkan pada kelima isim ma`rifat sebelumnya. Adapun isim-isim yang tidak memiliki beberapa tanda tersebut, maka termasuk dalam katagori isim nakirah.
D. Korelasi Penafsiran Al Qur`an dengan Kaidah Ushul Fiqh
            Ushulul fiqh adalah satu bidang ilmu yang mempunyai peran penting dalam kajian keilmuan Islam.Ia merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang kemudian dijadikan pedoman dalam menerapkan hukum syariat Islam yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang bersumber dari dalil-dalil agama yang rinci dan jelas. Dalam hal ini, ushulul fiqh pasti akan bersentuhan dengan dalil-dalil syar’i (ayat-ayat al Quran) karena ia merupakkan objek kajiannya. Dan dalam hal yang lebih spesifik, ushulul fiqh juga tidak boleh terlepas dari kaidah-kaidah kebahasaan.Dari sini dapat dilihat adanya kesamaan dengan ilmu tafsir. Hanya saja, ilmu ushulul fiqh dimaksudkan untuk mendapatkan hukum syari’at islam dari dalil-dalil syar’i, sedangkan ilmu tafsir tidak hanya sebatas itu.
Ada beberapa kaidah tafsir yang berkaitan dengan kaidah ushulul fiqh, diantaranya:
Pertama, sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib.[13] Di dalam Al Quran ditemukan ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa suatu tindakan (perbuatan, perkataan, dan sebagainya) yang semula bersifat mubah akan terlarang jika menimbulkan sesuatu yang haram atau mengakibatkan hal-hal yang wajib terabaikan. Contoh:
( QS: Al Jum’ah ayat 9 ).
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Melakukan jual beli pada dasarnya dibolehkan.Tetapi jika perbuatan tersebut dikhawatirkan menimbulkan pengabaian yang wajib –seperti jual beli ketika azan jumat- maka perbuatan tersebut menjadi dilarang sebagaimana disebutkan pada ayat diatas.
( QS:  Al Nur ayat 31 dan QS Al Ahzab ayat 32 )
 …..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
 Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Pada dasarnya wanita boleh saja menghentak-hentakkan kakinya untuk menunjukkan perhiasannya atau berbicara pada lelaki sambil menundukkan kepala.Tetapi perbuatan itu menjadi terlarang karena dikhawatirkan dapat menimbulkan rangsangan kepada laki-laki untuk berbuat maksiat.
KESIMPULAN
Dari beberapa keterangan diatas, dapat dilihat betapa urgennya kaidah-kaidah penafsiran di dalam Al Quran. Ini dikarenakan perkembangan penafsiran yang begitu pesat dan bertambahnya ilmu bantu yang dapat digunakan dalam penafsiran Al Quran. Sehingga kaidah-kaidah penafsiran sebagai patokan-patokan atau “peraturan-peratutran” adalah hal yang niscaya agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalam Al Quran.
Dalam lain hal, kaidah tafsir tidak boleh lepas dari kaidah kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab. Karena Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab sebagaimana disebutkan dala QS Yusuf ayat 2.Sama halnya dengan kaidah ushulul fiqh, ada beberapa kaidah yang memiliki kesamaan yang keduanya saling melengkapi.













DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsi. Bandung: Pustaka Setia, 2005
Aziz, Amir Abd. Dirasat Fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983
Chirzin, Muhammad, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2003. Cetakan II
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
Al-Ghazali.Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1356 H. Jilid II
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia,
2004
Al-Makin, Apakah Tafsir Masih Mungkin?dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002
Al-Qattan, Manna.Mabahits fiUlum al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press bekerjasama dengan Gaung Persada Press Jakarta, 2007
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005






[1]Manna Khalil Al-Qattan, mabahits fi ‘ulum al-qur’an, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2002) h.2.
[2]QS.Al_Hijr:9

[3]Menurut riwayat yang bersumber dari Sahabat Anas bin Malik, Umar bin Khattab pernah ditanya
tentang makna kata arbba-n yang terdapat pada surat abbasa ayat 31, yang dijawab dengan
pernyataan “ kita dilarang memberatkan diri dalam hal memahami sesuatu di luar kemampuan kita”

[4]Abu Anwar, ulumul qur’an sebuah pengantar, ( Pekan Baru : Amzah, 2005 ) h.20
[5]Sabda Rasul : “ Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an melalui pendapatnya semata, maka hendaklai dia persiapkan tempat duduk dari api neraka “. (HR.Tirmidzi dari Ibn Abbas)  ( Al-Zarqani, manahil al-‘irfan,tt,h.55)
[6]Supiana-M. Parman, ulum ul qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) h.273.
[7] Dr.’Ali Hasan Al-‘Aridl, sejarah dan metodologi tafsir,( Jakaertra
[8]Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani, manahil al-irfa ‘ulum al-quir’an, ( Makkah Al-Mukarramah: Maktabah nazar Mustofa,TT,) h.6
[9] Andian Husaini, Abdurrahman Al-Baghdadi, hermeneutika dan tafsir al-qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007 ) h.46
[10]M.Husain Al-Zahabiy, al-tafsir, (Kairo: Darul Hadits, 2005) h.6
[11]Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halaby, Mesir, 1957, jilid II,h.164
[12]M.Husain Al-Zahabiy, op.cit.h.55
[13]Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al Quran (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar