Senin, 27 Januari 2014

Pisikologi Agama

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Shalat 
Shalat secara bahasa berarti berdo’a.dengan kata lain shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a.Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya: berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakanlainyangdilakukandalamshalat.  
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.Maksudnya adalah shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).
Yang dimaksudkan shalat dalam hal ini adalah tidak hanya sekedar shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya, akan tetapi maksudnya adalah shalatfardlu yang didirikan dengan khusyu’ yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang melaksanakannya. 
Khusyu’ secara bahasa berasal dari katakhasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhsya’ dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat. Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati.  Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’.Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan.Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya. 
Menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.
Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja, sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan khusyu’.  Dengan kata lain dalam penelitian ini  akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam.
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab  Suci  dan  HaditsNabi,   dapatlah   dikatakan  bahwa  shalat  adalah  kewajibanperibadatan  (formal)  yang  paling   penting   dalam sistemkeagamaan  Islam.  Kitab Suci banyak memuat perintah agar kitamenegakkan  shalat  (iqamat  al-shalah,  yakni  menjalankannyadengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaankaum  beriman  adalah  pertama-tama  karena   shalatnya   yangdilakukan  dengan  penuh kekhusyukan.). Sebuah hadits Nabisaw.  menegaskan,  "Yang  pertama  kali  akan   diperhitungkantentang  seorang  hamba  pada  hari  Kiamat ialah shalat: jikabaik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak,  makarusak  pulalah  seluruh  amalnya."  Dan sabda beliau lagi,"Pangkal segala perkara ialah al-Islam  (sikap  pasrah  kepadaAllah),  tiang  penyangganya  shalat,  dan puncak tertingginyaialah perjuangan di jalan Allah.". Karena   demikian   banyaknya   penegasan-penegasan tentangpentingnya  shalat  yang  kita  dapatkan  dalam  sumber-sumberagama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu  sebaikmungkin.  Berdasarkan  berbagai  penegasan  itu, dapat ditarikTuhan Yang   Maha  Esa,  dan  melalui  shalat  itu  kita  memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan  pada  dirinya  sendiri dan makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
B.     Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental.dilambangkan   dalam  keseluruhan  shalat,  baik  dalam  unsurbacaannya maupun tingkah lakunya. Secara  Ilmu  Fiqih,  shalatdirumuskan  sebagai  "Ibadah  kepada Allah dan pengagungan-Nyadengan  bacaan-bacaan  dan  tindakan-tindakan  tertentu   yangdibuka  dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim(al-salam-u 'alaykum wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan  dan  tertib  tertentu  yang  diterapkan  oleh  agamaIslam." Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbiratal-ihram),  yang  mengandung  arti "takbir yang mengharamkan",yakni, mengharamkan segala  tindakan  dan  tingkah  laku  yangtidak  ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadapTuhan. Takbir pembukaan itu  seakan  suatu  pernyataan  formalseseorang  membuka  hubungan  diri dengan Tuhan (habl-un min-a'l-Lah), dan mengharamkan  atau  memutuskan  diri  dari  semuabentuk  hubungan  dengan  sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna intrinsik  shalat  diisyaratkandalam  arti  simbolik  takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri  kepada-Nya. Jikadisebutkan  bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allahagar  mereka  menghamba  kepada-Nya,   maka   wujud   simbolikterpenting  penghambaan  itu  ialah  shalat yang dibuka dengantakbir tersebut, sebagai ucapan  pernyataan  dimulainya  sikapmenghadap Allah.Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkanJadi,  dalam  shalat  itu seseorang diharapkan hanya melakukanhubungan  vertikal  dengan  Allah,  dan  tidak   diperkenankanmelakukan  hubungan  horizontal dengan sesama makhluk. Selanjutnya   dia   yang  sedang  melakukan  shalat  hendaknyamenyadari  sedalam-dalamnya  akan  posisinya  sebagai  seorangmakhluk   yang   sedang   menghadap  Khaliknya,  dengan  penuhkeharuan,  kesyahduan  dan  kekhusyukan.  Sedapat  mungkin  iamenghayati  kehadirannya  di  hadapan  Sang  Maha Pencipta itusedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah  melihat  Khaliknya";dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafisedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai  denganmakna  ihsan  seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.[8] Karena merupakan peristiwa menghadap  Tuhan,  shalat  jugasering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogidengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung diSidrat al-Muntaha.Dengan  ihsan  itu orang yang melakukan shalat menemukan salahsatu makna yang amat  penting  ibaratnya,  yaitu  penginsyafandiri  akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalandengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:"Dia  (Allah)  itu  beserta  kamu  di manapun kamu berada, danAllah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]Tetapi  manusia  adalah  makhluk  yang sekalipun pada dasarnyabaik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya  tidak  selalumampu  menangkap  kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Begitulah, maka ketika dalam shalat  seseorang  membaca  suratal-Fatihah  --yang  merupakan  bacaan  terpenting dalam ibadat itukandungan makna surat itu yang terutama  harus  dihayatibenar-benar  ialah  permohonan  kepada  Allah agar ditunjukkanjalan yang  lurus  (al-shirath  al-mustaqim).  Permohonan  itusetelah  didahului  dengan  pernyataan bahwa seluruh perbuatandirinya akan dipertanggungjawabkan  kepada  Allah  (basmalah),diteruskan  dengan  pengakuan  dan  panjatan pujian kepada-Nyasebagai pemelihara seluruh alam  raya  (hamdalah),  Yang  MahaPengasih  (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan MahaPenyayang (kepada kaum beriman di  akhirat  kelak  -al-Rahim).Lalu  dilanjutkan  dengan  pengakuan  terhadap  Allah  sebagaiPenguasa Hari Pembalasan, di mana setiap  orang  akan  berdirimutlak  sebagai  pribadi  di  hadapan-Nya  selaku  Maha Hakim,dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak  akan  menghambakecuali  kepada-Nya  saja  semurni-murninya,  dan  juga  hanyakepada-Nya saja  kita  memohon  pertolongan  karena  menyadaribahwa  kita  sendiri  tidak memiliki kemampuan intrinsik untukmenemukan kebenaran.Dalam  peneguhan  hati  bahwa  kita  tidak  menghambakan  dirikecuali   kepada-Nya   serta   dalam   penegasan  bahwa  hanyakepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti  dikatakanoleh    Ibn   'Atha'   Allah   al-Sakandari,   kita   berusahamengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan  ke  arahjalan  yang  benar.  Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwakita tidak dibenarkan mengarahkan  hidup  ini  kepada  sesama apapun   selain   Tuhan,  dan  ketulusan  berbentuk  pelepasanpretensi-pretensi akan  kemampuan  diri  menemukan  kebenaran.Dengan  kata  lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benaritu, dalam ketulusan, kita harapkan  senantiasa  kepada  Allahbahwa  Dia  akan  mengabulkan permohonan.Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat  merupakan  kewajiban"berwaktu"  atas  kaum  beriman.  [14]  Yaitu, diwajibkan padawaktu-waktu  tertentu,  dimulai  dari   dini   hari   (Subuh),diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib)  dan  akhirnya di malam  hari  ('Isya).  Hikmah di balik penentuan waktu ituialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,kemudian  saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,lebih-lebih lagi, saat kita  "santai"  sesudah  bekerja  (dariAshar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanyadorongan dalam  diri  kita  untuk  mencari  kebenaran  menjadilemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangandan  kealpaan.  Karena  itulah  ada  pesan  Ilahi  agar   kitamenegakkan  semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,[15] dan agar kita mengisi waktu  luang  untuk  bekerja  kerasmendekati Tuhan.

C.    MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM) 
Shalat   disebut   bermakna  intrinsik  (makna  dalam  dirinyasendiri), karena ia merupakan  tujuan  pada  dirinya  sendiri,khususnya   shalat   sebagai  peristiwa  menghadap Allah danberkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun  melaluitingkah  laku  (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebutbermakna  instrumental,  karena  ia  dapat  dipandang  sebagaisarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri."Sudahkah  engkau  lihat orang yang mendustakan agama?Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak  dengan  tegasmenganjurkan   pemberian   makan  kepada  orang  miskin!  Makacelakalah untuk mereka yang  shalat,  yang  lupa  akan  shalatmereka  sendiri.  Yaitu  mereka  yang suka pamrih, lagi engganmemberi  pertolongan." Jadi,  ditegaskan  bahwa  shalatseharusnya  menghasilkan  rasa  kemanusiaan dan kesetiakawanansosial, yang dalam firman itu dicontohkan  dalam  sikap  penuhsantun  kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkannasib orang miskin.Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan  budiluhur  dan  perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapa salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain  adalah  doauntuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,baik yang ada di depan kita maupun yang tidak,  dan  diucapkansebagai  pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Denganbegitu maka shalat dimulai dengan pernyataan  hubungan  denganAllah  (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengansesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika  shalat  tidakmenghasilkan  ini,  maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkanmenjadi alasan adanya kutukan  Allah,  karena  dapat  bersifatpalsu  dan  menipu.  Dari  situ  kita  dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu. Allah  berfirman,  "Maka  celakalah  untuk  merek yang shalat, yang lupa akan shalat  mereka  sendiri.  Yaitu  merekayang  suka  pamrih,  lagi  enggan  memberi  pertolongan." Mereka  itu  dinamakan  "orang  yang  shalat"  karena   mereka mengerjakan  bentuk  lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan  jiwa yang  jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan   menginsyafkan  hati  akan  kebesaran  kekuasaan-Nya  dan keluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya  ataupamrih  menjadi  dua.  Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian,  penghargaan  atau persetujuan   mereka.   Kedua  pamrih  adat  kebiasaan,  yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun  tanpa memperhatikan  makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan  tanpa  perhatian  kepada  Siapa  (Tuhan)  yang sebenarnya  ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan orang  sekarang. Demikian  penjelasan  yang  diberikan  oleh seorang ahli agama dari Arab,  al-Shawwaf,  tentang  makna  instrumental  shalat. Dalam  Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan:
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar