PEMBAHASAN
A.
Pengertian Shalat
Shalat secara bahasa berarti berdo’a.dengan kata lain shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat
menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang
dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini
adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a.Sedangkan yang
dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya:
berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakanlainyangdilakukandalamshalat.
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan
dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya
kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.Maksudnya
adalah shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap
kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan
berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.Inilah
ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat
karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).
Yang dimaksudkan shalat dalam hal ini adalah tidak hanya sekedar
shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya,
akan tetapi maksudnya adalah shalatfardlu yang didirikan dengan khusyu’
yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang
melaksanakannya.
Khusyu’ secara bahasa
berasal dari katakhasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhsya’ dan takhasysya’a
yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau
meringankan suara ketika shalat. Khusyu’ secara bahasa juga bisa
diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran
hati. Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu
tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’.Khusyu’
ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan.Tiga anggota itulah
yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.Khusyu’
menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah
hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada
anggota tubuh yang lainnya.
Menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan
tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya,
serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan)
segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.
Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul
penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja,
sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan
khusyu’. Dengan kata lain dalam penelitian ini akan dibahas tema
shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari
yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal)
yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam.
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci
dan HaditsNabi, dapatlah
dikatakan bahwa shalat
adalah kewajibanperibadatan (formal)
yang paling penting
dalam sistemkeagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar
kitamenegakkan shalat (iqamat
al-shalah, yakni menjalankannyadengan penuh kesungguhan), dan
menggambarkan bahwa kebahagiaankaum
beriman adalah pertama-tama
karena shalatnya yangdilakukan dengan
penuh kekhusyukan.). Sebuah hadits Nabisaw. menegaskan,
"Yang pertama kali
akan diperhitungkantentang seorang
hamba pada hari
Kiamat ialah shalat: jikabaik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan
jika rusak, makarusak pulalah
seluruh amalnya." Dan sabda beliau lagi,"Pangkal segala
perkara ialah al-Islam (sikap pasrah
kepadaAllah), tiang penyangganya
shalat, dan puncak
tertingginyaialah perjuangan di jalan Allah.". Karena demikian
banyaknya penegasan-penegasan tentangpentingnya shalat
yang kita dapatkan
dalam sumber-sumberagama, tentu
sepatutnya kita memahami makna shalat itu
sebaikmungkin. Berdasarkan berbagai
penegasan itu, dapat ditarikTuhan
Yang Maha Esa,
dan melalui shalat
itu kita memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau
komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada
kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan pada
dirinya sendiri dan makna
instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
B.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua
makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental.dilambangkan dalam
keseluruhan shalat, baik
dalam unsurbacaannya maupun
tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih,
shalatdirumuskan sebagai "Ibadah
kepada Allah dan pengagungan-Nyadengan
bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu
yangdibuka dengan takbir (Allahu
Akbar) dan ditutup dengan taslim(al-salam-u 'alaykum wa rahmatu-'l-Lah-i wa
barakatah), dengan runtutan dan tertib
tertentu yang diterapkan
oleh agamaIslam." Takbir
pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram"
(takbiratal-ihram), yang mengandung
arti "takbir yang mengharamkan",yakni, mengharamkan
segala tindakan dan tingkah
laku yangtidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa
menghadapTuhan. Takbir pembukaan itu
seakan suatu pernyataan
formalseseorang membuka hubungan
diri dengan Tuhan (habl-un min-a'l-Lah), dan mengharamkan atau
memutuskan diri dari
semuabentuk hubungan dengan
sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka
makna intrinsik shalat diisyaratkandalam arti
simbolik takbir pembukaan itu,
yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jikadisebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh
Allahagar mereka menghamba
kepada-Nya, maka wujud
simbolikterpenting
penghambaan itu ialah
shalat yang dibuka dengantakbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan
dimulainya sikapmenghadap
Allah.Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkanJadi, dalam
shalat itu seseorang diharapkan
hanya melakukanhubungan vertikal dengan
Allah, dan tidak
diperkenankanmelakukan
hubungan horizontal dengan sesama
makhluk. Selanjutnya dia yang
sedang melakukan shalat
hendaknyamenyadari
sedalam-dalamnya akan posisinya
sebagai seorangmakhluk yang
sedang menghadap Khaliknya,
dengan penuhkeharuan, kesyahduan
dan kekhusyukan. Sedapat
mungkin iamenghayati kehadirannya
di hadapan Sang
Maha Pencipta itusedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat
Khaliknya";dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus
menginsyafisedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia",
sesuai denganmakna ihsan
seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.[8] Karena merupakan
peristiwa menghadap Tuhan, shalat
jugasering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogidengan
mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung diSidrat al-Muntaha.Dengan ihsan
itu orang yang melakukan shalat menemukan salahsatu makna yang amat penting
ibaratnya, yaitu penginsyafandiri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir
(omnipresent), sejalandengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:"Dia (Allah) itu
beserta kamu di manapun kamu berada, danAllah Maha teliti
akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]Tetapi manusia
adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnyabaik namun juga
lemah. Kelemahan ini membuatnya
tidak selalumampu menangkap
kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Begitulah,
maka ketika dalam shalat seseorang membaca
suratal-Fatihah --yang merupakan
bacaan terpenting dalam ibadat
itukandungan makna surat itu yang terutama
harus dihayatibenar-benar ialah
permohonan kepada Allah agar ditunjukkanjalan yang lurus
(al-shirath al-mustaqim). Permohonan
itusetelah didahului dengan
pernyataan bahwa seluruh perbuatandirinya akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah
(basmalah),diteruskan dengan pengakuan
dan panjatan pujian
kepada-Nyasebagai pemelihara seluruh alam
raya (hamdalah), Yang
MahaPengasih (tanpa pilih kasih
di dunia ini -al-Rahman) dan MahaPenyayang (kepada kaum beriman di akhirat
kelak -al-Rahim).Lalu dilanjutkan
dengan pengakuan terhadap
Allah sebagaiPenguasa Hari
Pembalasan, di mana setiap orang akan
berdirimutlak sebagai pribadi
di hadapan-Nya selaku
Maha Hakim,dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan
menghambakecuali kepada-Nya saja
semurni-murninya, dan juga
hanyakepada-Nya saja kita memohon
pertolongan karena menyadaribahwa kita
sendiri tidak memiliki kemampuan
intrinsik untukmenemukan kebenaran.Dalam
peneguhan hati bahwa
kita tidak menghambakan
dirikecuali kepada-Nya serta
dalam penegasan bahwa
hanyakepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakanoleh Ibn
'Atha' Allah al-Sakandari, kita
berusahamengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke
arahjalan yang benar.
Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwakita tidak dibenarkan mengarahkan hidup
ini kepada sesama apapun selain
Tuhan, dan ketulusan
berbentuk
pelepasanpretensi-pretensi akan
kemampuan diri menemukan
kebenaran.Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang
benaritu, dalam ketulusan, kita harapkan
senantiasa kepada Allahbahwa
Dia akan mengabulkan permohonan.Disebutkan dalam Kitab
Suci bahwa shalat merupakan kewajiban"berwaktu" atas
kaum beriman. [14]
Yaitu, diwajibkan padawaktu-waktu
tertentu, dimulai dari
dini hari (Subuh),diteruskan ke siang hari (Dhuhur),
kemudian sore hari (Ashar),lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan
akhirnya di malam hari ('Isya).
Hikmah di balik penentuan waktu ituialah agar kita jangan sampai lengah
dari ingat di waktu pagi,kemudian saat
kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah
bekerja (dariAshar sampai 'Isya).
Sebab, justru saat santai itulah biasanyadorongan dalam diri
kita untuk mencari
kebenaran menjadilemah, mungkin
malah kita tergelincir pada gelimang kesenangandan kealpaan.
Karena itulah ada
pesan Ilahi agar
kitamenegakkan semua shalat,
terutama shalat tengah, yaitu Ashar,[15] dan agar kita mengisi waktu luang
untuk bekerja kerasmendekati Tuhan.
C.
MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM)
Shalat disebut
bermakna intrinsik (makna
dalam dirinyasendiri), karena ia
merupakan tujuan pada
dirinya sendiri,khususnya shalat
sebagai peristiwa
menghadap Allah danberkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan,
maupun melaluitingkah laku
(khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebutbermakna instrumental,
karena ia dapat
dipandang sebagaisarana untuk
mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri."Sudahkah engkau
lihat orang yang mendustakan agama?Yaitu dia yang menghardik anak yatim,
dan tidak dengan tegasmenganjurkan pemberian
makan kepada orang
miskin! Makacelakalah untuk
mereka yang shalat, yang
lupa akan shalatmereka
sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi engganmemberi
pertolongan." Jadi,
ditegaskan bahwa shalatseharusnya menghasilkan
rasa kemanusiaan dan
kesetiakawanansosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam
sikap penuhsantun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam
memperjuangkannasib orang miskin.Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana
pendidikan budiluhur dan
perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapa salam sebagai
penutupnya. Ucapan salam tidak lain
adalah doauntuk keselamatan,
kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,baik yang ada di depan kita maupun
yang tidak, dan diucapkansebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas
sosial. Denganbegitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan
denganAllah (takbir) dan diakhiri
dengan pernyataan hubungan dengansesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan
jika shalat tidakmenghasilkan ini,
maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkanmenjadi alasan adanya
kutukan Allah, karena
dapat bersifatpalsu dan menipu. Dari
situ kita dapat memahami kerasnya
peringatan dalam firman itu. Allah
berfirman, "Maka celakalah
untuk merek yang shalat, yang
lupa akan shalat mereka sendiri.
Yaitu merekayang suka
pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan." Mereka itu
dinamakan "orang yang
shalat" karena mereka mengerjakan bentuk
lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki,
karena jauh dari pemusatan jiwa yang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati
akan kebesaran kekuasaan-Nya
dan keluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya ataupamrih
menjadi dua. Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan
ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan
atau persetujuan mereka. Kedua
pamrih adat kebiasaan,
yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpa memperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya
serta faedahnya, dan tanpa perhatian
kepada Siapa (Tuhan)
yang sebenarnya ia berbuat
untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya. Inilah yang paling banyak dikerjakan
orang sekarang. Demikian penjelasan
yang diberikan oleh seorang ahli agama dari Arab, al-Shawwaf,
tentang makna instrumental
shalat. Dalam Kitab Suci juga
dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan
perilaku kemanusiaan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar